(Menelisik Kepemimpinan Gubernur VBL Memimpin NTT)
Merunut rentang waktu kalender masehi maka sejak 5 September 2018 yang lalu, Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) dan Wakil Gubernur Josep A. Nae Soi (JNS) memimpin Provinsi NTT untuk periode lima tahun ke depan; 2018-2023. Mereka berdua dikenal dengan tagline NTT Bangkit NTT Sejahtera. Muncul pertanyaan, hingga memasuki Maret 2019 (telah enam bulan memimpin ini daerah) adakah yang berubah ? Entah di level masyarakat, di level birokrasi Pemerintah Provinsi NTT, ataukah pada level stakehloders (pemangku kepentingan) lainnya.
Tentu tidaklah sulit untuk menjawab pertanyaan di atas. Semua pasti merasakan ada perubahan yang luar biasa tatkala Gubernur VBL memimpin daerah ini. Gaya bicara yang blak-blakan; apa adanya. Gaya memimpin yang to the point; tidak bertele-tele; cepat dan ingin agar semua yang dikerjakan terukur serta ada kemajuannya. Gubernur VBL menunjukan hal-hal yang praktis namun berdaya magis yang tinggi; sebut saja misalnya mulai dari memungut sampah (mulai dari lingkungan kantor Gubernur hingga mengepung Kota Kupang-Kota Kasih). Selain itu, penegakkan disiplin di lingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan memakaikan rompi orange khususnya bagi mereka yang tidak disiplin masuk dan pulang kantor. Dan masih banyak contoh lain yang telah Gubernur VBL tunjukkan. Seolah-olah Gubernur VBL ingin menngatakan bahwa, “satu tindakan nyata lebih berarti daripada seribu kata yang hanya mampir di telinga kanan lalu keluar di telinga kiri dan tak berkesan bahkan tak membekas sedikitpun di otak dan hati setiap yang melihat serta mendengar apa yang dikatakannya.”
Berubah, Baru Bergerak
Dalam kaca mata psikologi, Psikolog Muzafer Sherif dan Carl Hovland mengatakan : sepanjang orang masih mempertanyakan “apakah ada yang salah pada diri kita” tidak mungkin akan ada tenaga untuk berubah. Karena, energi kita akan habis untuk menutup mata dan membela egonya. Belum lagi individu biasanya memang sudah disibukan dengan aktivitas-aktivitas business as usual, yang sudah menjadi kebiasaan bertahun-tahun. Individu perlu masuk ke situasi the latitude of acceptance; di mana pemahaman diri atau mawas diri individu sudah mencapai titik optimal. Dengan kata lain, individu dan masyarakat atau para ASN di lingkungan Pemerintah Provinsi NTT, harus merasa ok dulu untuk berubah, baru bergerak.
Sebab setiap orang termasuk Gubernur VBL yang menginisiasi perubahan di daerah ini; tidak bisa hanya meneriakan ajakan untuk berubah. Diperlukan langkah-langkah strategis dan konkrit yang luar biasa, bila kita ingin mencapai hasil yang berbeda atas nama perubahan. Bila tidak demikian, sulit rasanya mencapai kesuksesan karena manusia pada dasarnya akan merekam reaksi-reaksi sukses yang pernah dilakukannya untuk mengulang kembali kesuksesan yang pernah dikerjakan.
Perubahan kebiasaan, apalagi mindset, memerlukan strategi yang cermat dan cerdas untuk mendapatkan keterlibatan massal. Langkah-langkah perubahan kecil perlu diamati, disadari, dan diapresiasi. Bila tidak semuanya akan kembali menuju titik nol. Kita perlu menanamkan dalam keyakinan bahwa perubahan bukan konversi. Perubahan tidak mungkin dicapai dengan satu pukulan atau satu tindakan saja. Karena itu, ada hal yang sangat menarik yakni setiap kali melihat ada sampah, pasti Gubernur VBL langsung memungutnya. Sekali lagi ingin ditegaskan bahwa Gubernur VBL tidak hanya berkata-kata tetapi mampu dan sanggup memberi contoh atau keteladanan. Kata orang, “satu tindakan menggantikan ribuan kata-kata.”
Transaksional versus Transformatif
Pertanyaan selanjutnya yang bisa diajukan adalah apa sesungguhnya yang diinginkan dan diharapkan oleh Gubernur VBL dalam memimpin daerah ini? Seorang pemimpin membutuhkan dukungan dan memerlukan kerjasama, koordinasi, disiplin dan saling menghargai secara tulus di antara orang-orang yang dipimpinnya. Dalam ilmu kepemimpinan (leadership) dikenal dua tipikal yakni tipikal transaksional dan tipikal transformatif.
Tipikal kepemimpinan transaksional mengutamakan maksimalisasi keuntungan dalam setiap keputusan atau kebijakannya. Pemimpin transaksional menggunakan konstituen karena ada sesuatu dan untuk mendapatkan sesuatu, terutama keuntungan nominal.
Sebaliknya pemimpin transformatif bergandengan erat, memotivasi, membantu, menggerakan passion masyarakat atau orang-orang yang dipimpinnya untuk menciptakan sekaligus mencapai tujuan bersama yang terbaik. Pemimpin transformatif mampu membuat kebijakan yang sulit serta berani mengambil risiko. Gubernur VBL telah menunjukan hal itu. Misalnya di lingkungan birokrasi, Gubernur VBL telah melakukan pengurangan alias perampingan struktur organisasi yang berkonsekuensi terhadap sejumlah (ratusan) pejabat yang tidak lagi memangku jabatannya.
Bahkan yang paling anyer adalah ketika menyusun dan menempatkan para pejabat; baik untuk jabatan pimpinan tinggi pratama, administrator dan pengawas; Gubernur VBL mempercayakan sepenuhnya kepada Wakil Gubernur JNS dan Sekretaris Daerah Provinsi NTT, Ben Polo Maing. Mungkin hal ini baru pertama kali dalam sejarah Pemeritah Provinsi NTT. Karena itu, dalam banyak kesempatan Gubernur VBL selalu mengatakan, “jadi Gubernur NTT tidak untuk urus kepala dinas. Masih banyak hal yang dikerjakan untuk membangun dan mensejahterakan masyarakat di NTT.” Pernyataan yang sungguh sangat mulia. Karena itu, tidak ada niat sedikit pun dari Gubernur VBL untuk menyusun “kabinet” nya demi melanggengkan kekuasaan apalagi menuju kerajaan pejabat seperti yang disinyalir William Djani (dosen Fisip Undana Kupang) dalam opini berjudul mutasi birokrasi menuju Kerajaan pejabat (Timex, Rabu 6 Maret 2019).
Artikel ini pun tidak sedang dalam posisi untuk “membela’ Gubernur VBL khususnya terkait dengan mutasi dan promosi di lingkungan Pemerintah Provinsi NTT. Tidak…! Penulis hanya sekadar membuat catatan ringan untuk lebih memahami dan menghayati apa arti kepemimpinan yang sesungguhnya yang sedang dilakonkan Gubernur VBL. Karena ke depan, kepemimpinan moderen dihadapkan pada konteks dan tantangan yang lebih dinamis. Namun kinerja pemimpin tetap menjadi denyut nadi maju-munudur, hidup-mati institusi yang dipimpinnya. Seperti kata Napoleon, a leader is a dealer in hope. Pemimpin moderen harus mampu mendorong orang-orang yang dipimpinya untuk menciptakan tujuan, memperkuat kohesi sosial, menyediakana tatanan sekaligus memobilisasi kerja kolektif secara produktif dan efektif untuk mengeluarkan masyarakat NTT dari belenggu kemiskinan.
Kita sungguh menyadari tak ada pemimpin yang sempurna dan sejarah telah menjadi laboratorium yang tidak sempurna. Angin dan badai selalu mengarungi nasib pemimpin. Mereka terbukti menjadi sosok pemimpin yang dirindukan bukan semata-mata karena jabatan, melainkan lebih pada apa yang telah mereka lakukan atau kerjakan. Pepatah Latin mengatakan, “Tum Spiro, Spero.” Yang berarti: “Selama Kita Bernafas, Kita Berusaha.” Karena itu, buanglah kata menyerah atau berputus asa dalam hidup ini. Hidup ini sangat berarti. Teruslah berkarya dengan hal-hal kecil tapi dampaknya sangat besar bagi kemaslahatan banyak orang. Karena kita adalah manusia, makhluk yang luar biasa. Bekerja dan berjuanglah sampai nafas terakhir. Perubahan itu ada di depan mata kita. Hanya orang yang memiliki niat dan semangat untuk berubah akan hidup dengan penuh sukacita. Seperti kalimat yang tertulis di depan baju kaos putih yang dikenakan Gubernur VBL ketika mengikuti festival sarung tenun ikat NTT, Sabtu 2 Maret 2019; “Kalau capek istirahat.” Hanya Gubernur VBL yang bisa menjelaskan makna di balik tulisan itu. (*).